MENINJAU ULANG ZIPPER SYSTEM

February 3, 2009 at 5:02 am (politics.. yaaayyyy!! =P)

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa penentuan calon legislatif (caleg) terpilih dari suatu partai didasarkan pada perolehan suara terbanyak yang diperoleh masing-masing caleg. Putusan tersebut sekaligus menggugurkan peraturan perundangan sebelumnya yang menyatakan bahwa caleg terpilih berdasarkan nomor urut. Ilustrasi sederhananya sebagai berikut. A dan B adalah caleg dari partai C dari daerah pemilihan (dapil) yang sama. A adalah caleg nomor urut 1, sedangkan B mendapat nomor urut 5. Pasca pemilihan umum, A mendapatkan 5000 suara dan B mendapatkan 5145 suara. Berdasarkan sistem nomor urut, caleg dari partai C yang menjadi pemenang di dapil tersebut adalah caleg A. Meskipun A mendapat suara lebih sedikit, tetapi A berada di nomor urut 1, nomor urut yang lebih tinggi dari B. Peraturan lama tersebut kemudian dihapus oleh MK dan diganti dengan peraturan baru yang memutuskan bahwa caleg terpilih adalah caleg yang mendapatkan suara terbanyak dari konstituen di dapil tersebut. Jika dibandingkan, sistem lama hanya akan mendekatkan caleg dengan pimpinan partai untuk mendapatkan nomor urut di urutan atas. Sedangkan sistem yang baru akan mendekatkan caleg dengan konstituennya. Caleg harus melakukan pendekatan agar dikenal dan dipercaya oleh calon konstituennya.

Peraturan baru tersebut menumbuhkan atmosfer persaingan yang lebih tinggi antar caleg dari suatu partai. Caleg yang ingin memenangkan pemilihan dan menjadi wakil rakyat di DPR maupun DPRD harus melakukan pendekatan ekstra kepada calon konstituen mereka. Berdasarkan peraturan baru tersebut, caleg harus mau “turun ke bawah”, melakukan sosialisasi langsung kepada masyarakat, melakukan pendekatan dialogis, dan melakukan usaha-usaha ekstra lain agar dikenal dengan baik oleh calon konstituennya.

Akan tetapi, penghapusan peraturan lama dan penerapan peraturan baru dalam pemilihan anggota legislatif (pileg) tersebut tidak dibarengi dengan penghapusan zipper system. Zipper system adalah sistem yang mengatur adanya minimal 30% perempuan di parlemen. Jadi, jika sebuah partai mendapat 3 kursi, maka salah satunya harus diberikan kepada caleg perempuan yang mendapatkan suara terbanyak. KPU harus melaksanakan zipper system tersebut berdasarkan pasal 53 UU No 10/2008 yang mengatur 30% kuota perempuan di parlemen.

Lalu? Apa hubungannya suara terbanyak dengan zipper system? Mengapa zipper system harus dihapuskan atau ditinjau ulang?

Sistem suara terbanyak dalam pileg adalah salah satu cara menegakkan prinsip persamaan hak dalam demokrasi. Setiap caleg memiliki hak yang sama untuk dipilih tanpa harus memepertimbangkan nomor urut. Kemampuan dan kemauan caleg untuk meyakinkan dan membuktikan kemampuan kepada calon konstituen mereka benar-benar diuji. Dengan aturan main yang sama, senjata dan strategi “perang” caleg yang kemudian menjadi penentu. Setiap caleg akan dituntut untuk mengerahkan segala kemampuan untuk bersaing secara sehat. Tidak ada lagi caleg yang “siap menang” dengan menempati “nomor jadi” atau nomor urut teratas. Semua memiliki kesempatan yang sama untuk menang maupun kalah.

Demikian pula halnya dengan zipper system. Dengan adanya peraturan yang menyebutkan bahwa minimal 30% anggota parlemen adalah perempuan, maka persamaan hak dalam demokrasi telah terciderai. Peraturan tersebut menurut saya bukanlah wujud dari usaha untuk menyamakan hak politik antara pria dan wanita. Latar belakang dibuatnya sistem tersebut sebenarnya merupakan cita-cita mulia untuk mewujudkan persamaan hak politik antara laki-laki dan perempuan. Pada satu sisi, sistem ini mencoba untuk memberi kesempatan yang sama bagi perempuan untuk duduk di parlemen. Selama ini, parlemen terlalu didominasi oleh kaum pria.

Akan tetapi, menurut saya sistem tersebut bukan sebuah solusi yang solutif. Secara kuantitas memang wanita diuntungkan. Akan tetapi, haruskah kemudian ukuran kuantitatif menjadi sangat penting dalam menentukan proporsi komposisi wakil rakyat? Saya rasa tidak. Dengan adanya zipper system yang dipaksakan, kualitas caleg wanita menjadi terabaikan karena hanya sekedar memenuhi kuota 30% saja. Bisa saja wanita tanpa kemampuan politik yang memadai terpaksa harus menjadi wakil rakyat hanya untuk memenuhi kuota.. Tentu saja tidak ada satupun dari kita, masyarakat awam, maupun partai politik yang menginginkan wakil rakyat yang asal-asalan. Akan tetapi, jika kuantitas , bukan kualitas, yang menjadi patokan, besar kemungkinan wakil rakyat yang “asal jadi” akan banyak bermunculan di negeri ini. Dalam konteks ini, nasib rakyat, bangsa, dan negara benar-benar dipertaruhkan. Jika nasib bangsa menjadi prioritas wakil rakyat, seharusnya hanya orang-orang yang berkompeten dan dipercaya yang dapat menjdi wakil rakyat.

Dengan demikian, jika memang caleg wanita yang mampu dan terpilih lebih dari 30% maka harus diakui bahwa memang mereka mampu dan layak ada di parlemen. Demikian halnya jika tidak lebih dari 30% wanita yang mampu meraih suara dari konstituen, maka tidak perlu dipaksakan untuk mencapai 30% dari jumlah wakil rakyat di parlemen. Oleh karena itu, penghapusan sistem nomor urut harus disertai penghapusan atau peninjauan kembali zipper system demi menjunjung tinggi persamaan hak dan kebebasan dalam bersaing. Tidak perlu setengah-setengah untuk mewujudkan persaingan bebas dan sehat. Biarlah pemilih, sebagai raja, menilai kemampuan masing-masing caleg. Biarlah rakyat memilih dan memilah wakil rakyat, wakil yang tidak hanya menampung aspirasi rakyat, tapi juga memperjuangkannya. Wakil yang tidak hanya sekedar menjadi wakil partai.

Leave a comment